undang-undang perikanan

TUGAS
PENGANTAR PERIKANANDAN ILMU KELAUTAN
Undang-Undang Perikanan

O L E H

ZADRAK RUIMASSA
2011-67-026

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
UNIVERSITAS PATTIMURA






UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 45 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31
TAHUN 2004
TENTANG PERIKANAN



Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433)diubah sebagai berikut:

1.      Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 24 diubah,sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.   Perikanan adalah semua kegiatan yangberhubungan dengan pengelolaan danpemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannyamulai dari praproduksi, produksi, pengolahansampai dengan pemasaran yang dilaksanakandalam suatu sistem bisnis perikanan.
2.   Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.
3.    Lingkungan sumber daya ikan adalah perairantempat kehidupan sumber daya ikan, termasukbiota dan faktor alamiah sekitarnya.
4.    Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruhatau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam. lingkungan perairan.
5.   Penangkapan ikan adalah kegiatan untukmemperoleh ikan di perairan yang tidak dalamkeadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapaluntuk memuat, mengangkut, menyimpan,mendinginkan, menangani, mengolah, dan/ataumengawetkannya.
6.   Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untukmemelihara, membesarkan, dan/atau membiakkanikan serta memanen hasilnya dalam lingkunganyang terkontrol, termasuk kegiatan yangmenggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,dan/atau mengawetkannya.
7.   Pengelolaan perikanan adalah semua upaya,termasuk proses yang terintegrasi dalampengumpulan informasi, analisis, perencanaan,konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakanhukum dari peraturan perundang-undangan dibidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintahatau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapaikelangsungan produktivitas sumber daya hayatiperairan dan tujuan yang telah disepakati.
8.   Konservasi Sumber Daya Ikan adalah upayaperlindungan, pelestarian, dan pemanfaatansumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dangenetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan,dan kesinambungannya dengan tetap memeliharadan meningkatkan kualitas nilai dankeanekaragaman sumber daya ikan.
9.   Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alatapung lain yang digunakan untuk melakukanpenangkapan ikan, mendukung operasipenangkapan ikan, pembudidayaan ikan,pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihanperikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan.
10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannyamelakukan penangkapan ikan.
11. Nelayan Kecil adalah orang yang matapencahariannya melakukan penangkapan ikanuntuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yangmenggunakan kapal perikanan berukuran palingbesar 5 (lima) gross ton (GT)
12. Pembudi Daya Ikan adalah orang yang matapencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.
13. Pembudi Daya-Ikan Kecil adalah orang yang matapencahariannya melakukan pembudidayaan ikanuntuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
14. Setiap Orang adalah orang perseorangan ataukorporasi.
15. Korporasi adalah kumpulan orang dan/ataukekayaan yang terorganisasi baik merupakan badanhukum maupun bukan badan hukum.
16. Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnyadisebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimilikiperusahaan perikanan untuk melakukan usahaperikanan dengan menggunakan sarana produksiyang tercantum dalam izin tersebut.
17. Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnyadisebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimilikisetiap kapal perikanan untuk melakukanpenangkapan ikan yang merupakan bagian tidakterpisahkan dari SIUP.
18. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang selanjutnyadisebut SIKPI, adalah izin tertulis yang harus dimilikisetiap kapal perikanan untuk melakukanpengangkutan ikan.
19. Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12(dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkalkepulauan Indonesia.
20. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesiabeserta perairan kepulauan dan perairanpedalamannya.
21. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang selanjutnyadisebut ZEEI, adalah jalur di luar dan berbatasandengan laut teritorial Indonesia sebagaimanaditetapkan berdasarkan undangundang yangberlaku tentang perairan Indonesia yang meliputidasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnyadengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut yangdiukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
22. Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidaktermasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia,perairan kepulauan Indonesia, dan perairanpedalaman Indonesia.
23. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiriatas daratan dan perairan di sekitarnya denganbatas-batas tertentu sebagai tempat kegiatanpemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikananyang digunakan sebagai tempat kapal perikananbersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikanyang dilengkapi dengan fasilitas keselamatanpelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
24. Menteri adalah menteri yang membidangi urusanperikanan.
25. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
26. Pemerintah Daerah adalah pemerintah provinsidan/atau pemerintah kabupaten/kota.



2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga Pasal 2berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas:
a. manfaat;
b. keadilan;
c. kebersamaan;
d. kemitraan;
e. kemandirian;
f. pemerataan;
g. keterpaduan;
h. keterbukaan;
i. efisiensi; 
j. kelestarian; dan
k. pembangunan yang berkelanjutan.

3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaansumber daya ikan, Menteri menetapkan:
a.   rencana pengelolaan perikanan;
b.   potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayahpengelolaan perikanan Negara RepublikIndonesia;
c.   jumlah tangkapan yang diperbolehkan diwilayah pengelolaan perikanan Negara RepublikIndonesia;
d.   potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikandi wilayah pengelolaan perikanan NegaraRepublik Indonesia;
e.   potensi dan alokasi induk serta benih ikantertentu di wilayah pengelolaan perikananNegara Republik Indonesia;
f.    jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapanikan;
g.   jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alatbantu penangkapan ikan;
h.   daerah, jalur, dan waktu atau musimpenangkapan ikan;
i.    persyaratan atau standar proseduroperasionalpenangkapan ikan; 
j.    pelabuhan perikanan;
k.   sistem pemantauan kapal perikanan;
l.    jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
m. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali sertapenangkapan ikan berbasis budi daya;
n.   pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
o.   pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya;
p.   rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikanserta lingkungannya;
q.   ukuran atau berat minimum jenis ikan yangboleh ditangkap;
r.    kawasan konservasi perairan;
s.    wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
t.    jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dariwilayah Negara Republik Indonesia; dan
u.   jenis ikan yang dilindungi

(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/ataukegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhiketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai:
a.  jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapanikan;
b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alatbantu penangkapan ikan;
c. daerah, jalur, dan waktu atau musimpenangkapan ikan;
d.             persyaratan atau standar prosedur operasionalpenangkapan ikan;
e. sistem pemantauan kapal perikanan;
f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali sertapenangkapan ikan berbasis budi daya;
h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
i.   pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya;
j.   ukuran atau berat minimum jenis ikan yangboleh ditangkap;
k. kawasan konservasi perairan;
l.   wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
m. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dariwilayah Negara Republik Indonesia; dan
n. jenis ikan yang dilindungi

(3)   Kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistempemantauan kapal perikanan sebagaimanadimaksud pada ayat (2) huruf e, tidak berlaku baginelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.

(4) Menteri menetapkan potensi dan jumlah tangkapanyang diperbolehkan sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf b dan huruf c setelahmempertimbangkan rekomendasi dari komisi nasional yang mengkaji sumber daya ikan.
5)    Komisi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibentuk oleh Menteri dan beranggotakan paraahli di bidangnya yang berasal dari lembaga terkait.
(6)   Menteri menetapkan jenis ikan yang dilindungi dankawasan konservasi perairan untuk kepentinganilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata,dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.



 4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1)   Setiap orang dilarang memiliki, menguasai,membawa, dan/atau menggunakan  alatpenangkapan dan/atau alat bantu penangkapanikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutansumber daya ikan di kapal penangkap ikan diwilayah pengelolaan perikanan Negara RepublikIndonesia.
(2)   Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/ataualat bantu penangkapan ikan yang mengganggu danmerusak keberlanjutan sumber daya ikansebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur denganPeraturan Menteri


5. Ketentuan Pasal 14 ayat (3) diubah, sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkanpemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengansumber daya ikan dalam rangka pelestarianekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.
(2)   Setiap orang wajib melestarikan plasma nutfahyang berkaitan dengan sumber daya ikan.
(3)   Pemerintah mengendalikan pemasukan dan/ataupengeluaran ikan jenis baru dari dan ke luar negeridan/atau lalu lintas antarpulau untuk menjaminkelestarian plasma nutfah yang berkaitan dengansumber daya ikan.
(4)   Setiap orang dilarang merusak plasma nutfah yangberkaitan dengan sumber daya ikan.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan danpelestarian plasma nutfah sumber daya ikansebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), danayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.


6. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 15A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15A

Pemerintah mengatur pengendalian mutu induk danbenih ikan yang dibudidayakan



7. Ketentuan Pasal 18 ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Pemerintah mengatur dan membina tatapemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan.
(2)  Pengaturan dan pembinaan tata pemanfaatan airdan lahan pembudidayaan ikan, sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangkamenjamin kuantitas dan kualitas air untukkepentingan pembudidayaan ikan.
(3)  Pelaksanaan tata pemanfaatan air dan lahanpembudidayaan ikan dilakukan oleh pemerintahdaerah.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan danpembinaan tata pemanfaatan air dan lahanpembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud padaayat (1) dan ayat (2) diatur dengan PeraturanPemerintah.


8. Ketentuan Pasal 23 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23

(1) Setiap orang dilarang menggunakan bahan baku,bahan tambahan makanan, bahan penolong,dan/atau alat yang membahayakan kesehatanmanusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakanpenanganan dan pengolahan ikan.
(2) Pemerintah menetapkan bahan baku, bahantambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alatyang membahayakan kesehatan manusia dan/ataulingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah melakukan sosialisasi bahan baku,bahan tambahan makanan, bahan penolong,dan/atau alat yang membahayakan kesehatanmanusia dan/atau lingkungan.


9. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga Pasal 25berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

(1) Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnisperikanan, meliputi praproduksi, produksi,pengolahan, dan pemasaran.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai praproduksi,produksi, pengolahan, dan pemasaran sebagaimanadimaksud pada ayat (1) diatur dalam PeraturanMenteri.


10. Di antara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 25A, Pasal 25B, dan Pasal 25C,yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25A

(1) Pelaku usaha perikanan dalam melaksanakan bisnisperikanan harus memperhatikan standar mutu hasilperikanan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah membina danmemfasilitasi pengembangan usaha perikanan agarmemenuhi standar mutu hasil perikanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu hasilperikanan diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 25B

(1) Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan danmemfasilitasi kegiatan pemasaran usaha perikananbaik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
(2) Pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luarnegeri dilakukan apabila produksi dan pasokan didalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsinasional.
(3) Pemerintah berkewajiban menciptakan iklim usahaperikanan yang sehat sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.

Pasal 25C

(1) Pemerintah membina dan memfasilitasiberkembangnya industri perikanan nasional denganmengutamakan penggunaan bahan baku dansumber daya manusia dalam negeri.
(2) Pemerintah membina terselenggaranyakebersamaan dan kemitraan yang sehat antaraindustri perikanan, nelayan dan/atau koperasiperikanan.
(3) Ketentuan mengenai pembinaan, pemberianfasilitas, kebersamaan, dan kemitraan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukansesuai dengan ketentuan peraturanperundangundangan.



11. Ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat-ayat (5),sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

(1) Setiap orang yang memiliki dan/ataumengoperasikan kapal penangkap ikan berbenderaIndonesia yang digunakan untuk melakukanpenangkapan ikan di wilayah pengelolaanperikanan Negara Republik Indonesia dan/atau lautlepas wajib memiliki SIPI.
(2) Setiap orang yang memiliki dan/ataumengoperasikan kapal penangkap ikan berbenderaasing yang digunakan untuk melakukanpenangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI.
(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapalpenangkap ikan berbendera Indonesia di wilayahpengelolaan perikanan Negara Republik Indonesiaatau mengoperasikan kapal penangkap ikanberbendera asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli.
(4) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yangmelakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksinegara lain harus terlebih dahulu mendapatkanpersetujuan dari Pemerintah.
(5) Kewajiban memiliki SIPI sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dan/atau membawa SIPI aslisebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlakubagi nelayan kecil.


12. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) diubah,serta ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

(1) Setiap orang yang memiliki dan/ataumengoperasikan kapal pengangkut ikan berbenderaIndonesia di wilayah pengelolaan perikanan NegaraRepublik Indonesia wajib memiliki SIKPI
.(2) Setiap orang yang memiliki dan/ataumengoperasikan kapal pengangkut ikan berbenderaasing yang digunakan untuk melakukanpengangkutan ikan di wilayah pengelolaanperikanan Negara Republik Indonesia wajibmemiliki SIKPI.
(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapalpengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikananNegara Republik Indonesia wajib membawa SIKPIasli.
(4) Kewajiban memiliki SIKPI sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dan/atau membawa SIKPI aslisebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlakubagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.


13. Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 28A, yang berbunyi sebagai berikut:


Pasal 28A

Setiap orang dilarang:
a. memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI; dan/atau
b. menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu.


14. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga Pasal 32berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan, tata cara, dan syarat-syarat pemberian SIUP, SIPI, dan SIKPIdiatur dengan Peraturan Menteri.


15. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 35A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35A

(1) Kapal perikanan berbendera Indonesia yangmelakukan penangkapan ikan di wilayahpengelolaan perikanan Negara Republik Indonesiawajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapalberkewarganegaraan Indonesia.
(2) Kapal perikanan berbendera asing yang melakukanpenangkapan ikan di ZEEI wajib menggunakan anakbuah kapal berkewarganegaraan Indonesia palingsedikit 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah anakbuah kapal.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan anakbuah kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)dikenakan sanksi administratif berupa peringatan,pembekuan izin, atau pencabutan izin.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksiadministratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)diatur dalam Peraturan Menteri.


16. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga Pasal 36berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36

(1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yangdioperasikan di wilayah pengelolaan perikananNegara Republik Indonesia dan laut lepas wajibdidaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikananIndonesia.
(2) Pendaftaran kapal perikanan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumenyang berupa:a. bukti kepemilikan;b. identitas pemilik; danc. surat ukur.
(3) Pendaftaran kapal perikanan yang dibeli ataudiperoleh dari luar negeri dan sudah terdaftar dinegara asal untuk didaftar sebagai kapal perikananIndonesia, selain dilengkapi dengan dokumensebagaimana dimaksud pada ayat (2) harusdilengkapi pula dengan surat keteranganpenghapusan dari daftar kapal yang diterbitkanoleh negara asal.
(4) Kapal perikanan yang telah terdaftar sebagaimanadimaksud pada ayat (1), diberikan surat tandakebangsaan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaransebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.


17. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga Pasal 41berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41

(1) Pemerintah menyelenggarakan dan melakukanpembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan.
(2) Penyelenggaraan dan pembinaan pengelolaanpelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan:
a.  rencana induk pelabuhan perikanan secaranasional;
b.  klasifikasi pelabuhan perikanan;
c. pengelolaan pelabuhan perikanan;
d.    persyaratan dan/atau standar teknis dalamperencanaan, pembangunan, operasional,pembinaan, dan pengawasan pelabuhanperikanan;
 e. wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhanperikanan yang meliputi bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerjadan pengoperasian pelabuhan perikanan; danf. pelabuhan perikanan yang tidak dibangunolehPemerintah.

(3) Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkutikan harus mendaratkan ikan tangkapan dipelabuhan perikanan yang ditetapkan ataupelabuhan lainnya yang ditunjuk.
(4) Setiap orang yang memiliki dan/ataumengoperasikan kapal penangkap ikan dan/ataukapal pengangkut ikan yang tidak melakukanbongkar muat ikan tangkapan di pelabuhanperikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnyayang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3)dikenai sanksi administratif berupa peringatan pembekuan izin, atau pencabutan izin.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksiadministratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4)diatur dalam Peraturan Menteri.


18. Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 41A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41A

(1) Pelabuhan perikanan mempunyai fungsipemerintahan dan pengusahaan guna mendukungkegiatan yang berhubungan dengan pengelolaandan pemanfaatan sumber daya ikan danlingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,pengolahan sampai dengan pemasaran.
(2) Fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukungkegiatan yang berhubungan dengan pengelolaandan pemanfaatan sumber daya ikan danlingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat berupa:
a.   pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan;
b.   pelayanan bongkar muat;
c.   pelayanan pembinaan mutu dan pengolahanhasil perikanan;
d.   pemasaran dan distribusi ikan;
e.   pengumpulan data tangkapan dan hasilperikanan;
f.    tempat pelaksanaan penyuluhan danpengembangan masyarakat nelayan;
g.   pelaksanaan kegiatan operasional kapalperikanan;
h.   tempat pelaksanaan pengawasan danpengendalian sumber daya ikan;
i.    pelaksanaan kesyahbandaran; 
j.    tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan;
k.   publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapalperikanan dan kapal pengawas    kapal perikanan;
l.    tempat publikasi hasil riset kelautan danperikanan;
m. pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari;dan/atau
n.   pengendalian lingkungan.


19. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga Pasal 42berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42

(1) Dalam rangka keselamatan operasional kapalperikanan, ditunjuk syahbandar di pelabuhanperikanan.
(2)  Syahbandar di pelabuhan perikanan mempunyai tugas dan wewenang:
a.  menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;
b.  mengatur kedatangan dan keberangkatan kapalperikanan.
c.  memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapalperikanan;
d. memeriksa teknis dan nautis kapal perikanandan memeriksa alat penangkapan ikan, dan alatbantu penangkapan ikan;
e.  memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerjalaut;
f.  memeriksa log book penangkapan danpengangkutan ikan;
g. mengatur olah gerak dan lalulintas kapalperikanan di pelabuhan perikanan;                   
h. mengawasi pemanduan;
i.   mengawasi pengisian bahan bakar;
j.   mengawasi kegiatan pembangunan fasilitaspelabuhan perikanan;
k. melaksanakan bantuan pencarian danpenyelamatan;
l.   memimpin penanggulangan pencemaran danpemadaman kebakaran di pelabuhan perikanan;
m. mengawasi pelaksanaan perlindunganlingkungan maritim;
n. memeriksa pemenuhan persyaratanpengawakan kapal perikanan;
o. menerbitkan Surat Tanda Bukti LaporKedatangan dan Keberangkatan KapalPerikanan; dan
p. memeriksa sertifikat ikan hasil tangkapan.

(3) Setiap kapal perikanan yang akan berlayarmelakukan penangkapan ikan dan/ataupengangkutan ikan dari pelabuhan perikanan wajibmemiliki Surat Persetujuan Berlayar yangdikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhanperikanan.
(4) Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) diangkat oleh menteri yangmembidangi urusan pelayaran.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, syahbandar dipelabuhan perikanan dikoordinasikan oleh pejabatyang bertanggung jawab di pelabuhanperikanansetempat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesyahbandaran dipelabuhan perikanan dilaksanakan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan.


20. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43

Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatanperikanan wajib memiliki surat laik operasi kapalperikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenaibiaya.


21. Ketentuan Pasal 44 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44

.
(1) Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksuddalam pasal 42 ayat (2) huruf a dikeluarkan olehsyahbandar setelah kapal perikanan mendapatkansurat laik operasi.
(2) Surat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dikeluarkan oleh pengawas perikanan setelahdipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakanteknis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratanadministrasi dan kelayakan teknis sebagaimanadimaksud pada ayat (2) diatur dalam PeraturanMenteri



22. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyusun danmengembangkan sistem informasi dan data statistikperikanan serta menyelenggarakan pengumpulan,pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, danpenyebaran data potensi, pemutakhiran datapergerakan ikan, sarana dan prasarana, produksi,penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan,serta data sosial ekonomi yang berkaitan denganpelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan danpengembangan sistem bisnis perikanan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mengadakanpusat data dan informasi perikanan untukmenyelenggarakan sistem informasi dan datastatistik perikanan.


23. Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 46A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46A

Pemerintah menjamin kerahasiaan data dan informasiperikanan yang berkaitan dengan data log book penangkapan dan pengangkutan ikan, data yangdiperoleh pengamat, dan data perusahaan dalam proses perizinan usaha perikanan.


24. Ketentuan Pasal 48 ayat (1) diubah, serta di antaraayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48

(1) Setiap orang yang memperoleh manfaat langsungdari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayahpengelolaan perikanan Negara Republik Indonesiadan di luar wilayah pengelolaan perikanan NegaraRepublik Indonesia dikenakan pungutan perikanan.  Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud padaayat (1) merupakan penerimaan negara bukanpajak.
(2) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud padaayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil danpembudi daya-ikan kecil.


25. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50

Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalamPasal 48 dan Pasal 49 digunakan untuk pembangunanperikanan serta kegiatan konservasi sumber daya ikandan lingkungannya.


26. Ketentuan Pasal 65 ayat (1) dihapus sehingga Pasal 65 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65
Pemerintah dapat memberikan tugas kepadapemerintah daerah untuk melaksanakan urusan tugaspembantuan di bidang perikanan.


27. Ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) diubah,sehingga Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66

(1) Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawasperikanan.
(2) Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasitertib pelaksanaan ketentuan peraturanperundang-undangan di bidang perikanan.
(3) Pengawasan tertib pelaksanaan peraturanperundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a.   kegiatan penangkapan ikan;
b.   pembudidayaan ikan, perbenihan;
c.   pengolahan, distribusi keluar masuk ikan;
d.   mutu hasil perikanan;
e.   distribusi keluar masuk obat ikan;
f.    konservasi;                
g.   pencemaran akibat perbuatan manusia;
h.   plasma nutfah;
i.    penelitian dan pengembangan perikanan; dan 
j.    ikan hasil rekayasa genetik.


28. Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 66A, Pasal 66B, dan Pasal 66C,yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66A

(1) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalamPasal 66 merupakan pegawai negeri sipil yangbekerja di bidang perikanan yang diangkat olehmenteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud padaayat (1) dapat dididik untuk menjadi PenyidikPengawai Negeri Sipil Perikanan.
(3) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan sebagai pejabatfungsional pengawas perikanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan fungsionalpengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 66B

(1) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalamPasal 66 melaksanakan tugas di:
a.   wilayah pengelolaan perikanan Negara RepublikIndonesia;
b.   kapal perikanan;
c.   pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhanlainnya yang ditunjuk;
d.   pelabuhan tangkahan;
e.   sentra kegiatan perikanan;
f.    area pembenihan ikan;
g.   area pembudidayaan ikan;
h.   unit pengolahan ikan; dan/atau
i.    kawasan konservasi perairan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugaspengawas perikanan sebagaimana dimaksud padaayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 66C

(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, pengawas perikanan berwenang :
a.   memasuki dan memeriksa tempat kegiatan usaha perikanan;
b.   memeriksa kelengkapan dan keabsahandokumen usaha perikanan;
c.   memeriksa kegiatan usaha perikanan;
d.   memeriksa sarana dan prasarana yangdigunakan untuk kegiatan perikanan;
e.   memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPIdan SIKPI;
f.    mendokumentasikan hasil pemeriksaan;
g.   mengambil contoh ikan dan/atau bahan yangdiperlukan untuk keperluan pengujianlaboratorium;
h.   memeriksa peralatan dan keaktifan sistempemantauan kapal perikanan;
i.    menghentikan, memeriksa, membawa,menahan, dan menangkap kapal dan/atau orangyang diduga atau patut diduga melakukantindak pidana perikanan di wilayah pengelolaanperikanan Negara Republik Indonesia sampaidengan diserahkannya kapal dan/atau orangtersebut di pelabuhan tempat perkara tersebutdapat diproses lebih lanjut oleh penyidik; 
j.    menyampaikan rekomendasi kepada pemberiizin untuk memberikan sanksi sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan;
k.   melakukan tindakan khusus terhadap kapalperikanan yang berusaha melarikan diridan/atau melawan dan/atau membahayakankeselamatan kapal pengawas perikanandan/atau awak kapal perikanan; dan/atau
l.    mengadakan tindakan lain menurut hukum yangbertanggung jawab.

(2) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud padaayat (1) dalam melaksanakan tugasnya dapatdilengkapi dengan kapal pengawas perikanan,senjata api, dan/atau alat pengaman diri.


29. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga Pasal 69 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69

(1) Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakanpengawasan dan penegakan hukum di bidangperikanan dalam wilayah pengelolaan perikananNegara Republik Indonesia.
(2) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksudpada ayat (1), dapat dilengkapi dengan senjata api.
3)   Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan,memeriksa, membawa, dan menahan kapal yangdiduga atau patut diduga melakukan pelanggaran diwilayah pengelolaan perikanan Negara RepublikIndonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesanlebih lanjut.
(4) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksudpada ayat (1) penyidik dan/atau pengawasperikanan dapat melakukan tindakan khususberupa pembakaran dan/atau penenggelamankapal perikanan yang berbendera asingberdasarkan bukti permulaan yang cukup.


30. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71

(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk pengadilanperikanan yang berwenang memeriksa, mengadili,dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.
(2) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud padaayat (1) merupakan pengadilan khusus yang beradadalam lingkungan peradilan umum.
(3) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud padaayat (1) akan dibentuk di Pengadilan Negeri JakartaUtara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.
 (5) Pembentukan pengadilan perikanan dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di pengadilan negeri.
(4) Pengadilan perikanan sebagaimana selanjutnyadilakukan secara bertahap sesuai dengankebutuhan yang ditetapkan dengan KeputusanPresiden.


31. Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 71A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71 A

Pengadilan perikanan berwenang memeriksa,mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana dibidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaanperikanan Negara Republik Indonesia, baik yangdilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warganegara asing.


32. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga Pasal 73berbunyi sebagai berikut :

Pasal 73

(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan diwilayah pengelolaan perikanan Negara RepublikIndonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai NegeriSipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atauPenyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai NegeriSipil Perikanan berwenang melakukan penyidikanterhadap tindak pidana di bidang perikanan yangterjadi di ZEEI.
(3) Penyidikan terhadap tindak pidana di bidangperikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan,diutamakan dilakukan oleh Penyidik Pegawai NegeriSipil Perikanan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat melakukan koordinasi dalam penangananpenyidikan tindak pidana di bidang perikanan
5) Untuk melakukan koordinasi dalam penanganantindak pidana di bidang perikanan sebagaimanadimaksud pada ayat (4), Menteri membentuk forumkoordinasi.
                                           

33. Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 73A dan Pasal 73B, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73A

Penyidik sebagaimana dalam Pasal 73 berwenang :
a.   menerima laporan atau pengaduan dari seseorangtentang adanya tindak pidana di bidang perikanan;
b.   memanggil dan memeriksa tersangka dan/atausaksi untuk didengar keterangannya;
c.   membawa dan menghadapkan seseorang sebagaitersangka dan/atau saksi untuk didengarketerangannya;
d.   menggeledah sarana dan prasarana perikanan yangdiduga digunakan dalam atau menjadi tempatmelakukan tindak pidana di bidang perikanan;
e.   menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa,dan/atau menahan kapal dan/atau orang yangdisangka melakukan tindak pidana di bidangperikanan;
f.    memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumenusaha perikanan;
g.   memotret tersangka dan/atau barang buktitindakpidana di bidang perikanan;
h.   mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidangperikanan;
i.    membuat dan menandatangani berita acarapemeriksaan; 
j.    melakukan penyitaan terhadap barang bukti yangdigunakan dan/atau hasil tindak pidana;
k.   melakukan penghentian penyidikan; dan
l.    mengadakan tindakan lain yang menurut hukumdapat dipertanggungjawabkan.

 

Pasal 73B

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73memberitahukan dimulainya penyidikan kepadapenuntut umum paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditemukan adanya tindak pidana di bidangperikanan.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapatmenahan tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaanyang belum selesai, dapat diperpanjang olehpenuntut umum paling lama 10 (sepuluh) hari.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)dan ayat (3) tidak menutup kemungkinan tersangkadikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktupenahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaansudah terpenuhi.
(5) Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut,penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka daritahanan demi hukum.
(6) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73A menyampaikan hasil penyidikan ke penuntut umumpaling lama 30 (tiga puluh) hari sejakpemberitahuan dimulainya penyidikan.


34. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga Pasal 75berbunyi sebagai berikut:

Pasal 75

(1) Penuntutan terhadap tindak pidana di bidangperikanan dilakukan oleh penuntut umum yangditetapkan oleh Jaksa Agung.
(2) Penuntut umum perkara tindak pidana di bidangperikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.   berpengalaman menjadi penuntut umumsekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;
b.   telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan; dan
c.   cakap dan memiliki moral yang tinggiselama menjalankan tugasnya.


35. Ketentuan Pasal 76 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (9), sehingga Pasal 76 berbunyi  sebagai berikut:

Pasal 76

(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikandari penyidik wajib memberitahukan hasilpenelitiannya kepada penyidik dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkaspenyidikan.
2)   Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak lengkap, penuntut umum harus mengembalikanberkas perkara kepada penyidik yang disertaidengan petunjuk tentang hal-hal yang harusdilengkapi.
(3) Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hariterhitung sejak tanggal penerimaan berkas,penyidik harus menyampaikan kembali berkasperkara tersebut kepada penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalamwaktu 5 (lima) hari penuntut umum tidakmengembalikan hasil penyidikan atau apabilasebelum batas waktu tersebut berakhir sudah adapemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umumkepada penyidik.
(5) Dalam hal penuntut umum menyatakan hasilpenyidikan tersebut lengkap dalam waktu palinglama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggalpenerimaan berkas dari penyidik dinyatakanlengkap, penuntut umum harus melimpahkanperkara tersebut kepada pengadilan perikanan.
(6) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umumberwenang melakukan penahanan atau penahananlanjutan selama 10 (sepuluh) hari.
(7) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6),apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaanyang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketuapengadilan negeri yang berwenang paling lama 10(sepuluh) hari.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan tersangkadikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktupenahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaansudah terpenuhi.
(9) Penuntut umum menyampaikan berkas perkarakepada ketua pengadilan negeri yang berwenangpaling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggalpenerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap.

Pasal 76A

Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atauyang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapatdirampas untuk negara atau dimusnahkan setelahmendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.



Pasal 76B

(1) Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yangmudah rusak atau memerlukan biaya perawatanyang tinggi dapat dilelang dengan persetujuanketua pengadilan negeri.
(2) Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yangmudah rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkansebagian untuk kepentingan pembuktian dipengadilan.
Pasal 76C

(1) Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindakpidana perikanan sebagaimana dimaksud dalamPasal 76A dapat dilelang untuk negara.
(2) Pelaksanaan lelang dilakukan oleh badan lelangnegara sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
(3) Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan tindakpidana perikanan disetor ke kas negara sebagaipenerimaan negara bukan pajak.
(4) Aparat penegak hukum di bidang perikanan yangberhasil menjalankan tugasnya dengan baik danpihak yang berjasa dalam upaya penyelamatankekayaan negara diberi penghargaan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindakpidana perikanan yang berupa kapal perikanandapat diserahkan kepada kelompok usaha bersamanelayan dan/atau koperasi perikanan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberianpenghargaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.



37. Di antara Pasal 78 dan Pasal 79 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 78A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78A

(1)   Setiap pengadilan negeri yang telah ada pengadilanperikanan, dibentuk subkepaniteraan pengadilanperikanan yang dipimpin oleh seorang paniteramuda.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, panitera mudasebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu olehbeberapa orang panitera pengganti.
(3) Panitera muda dan panitera pengganti pengadilanperikanan berasal dari lingkungan pengadilannegeri.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan, tata carapengangkatan, dan pemberhentian panitera mudadan panitera pengganti pengadilan perikanan sertasusunan organisasi, tugas, dan tata kerjasubkepaniteraan pengadilan perikanan diaturdengan peraturan Mahkamah Agung sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan.
                                                                                                                          


38. Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 83A, yang berbunyi sebagai berikut:




Pasal 83A

(1) Selain yang ditetapkan sebagai tersangka dalamtindak pidana perikanan atau tindak pidanalainnya, awak kapal lainnya dapat dipulangkantermasuk yang berkewarganegaraan asing.
(2) Pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asingsebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan olehinstansi yang bertanggung jawab di bidangkeimigrasian melalui kedutaan atau perwakilannegara asal awak kapal.
(3) Ketentuan mengenai pemulangan awak kapalberkewarganegaraan asing sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.




39. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga Pasal 85berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85

Setiap orang yang dengan sengaja memiliki,menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alatpenangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikanyang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan di kapal penangkap ikan di wilayahpengelolaan perikanan Negara Republik Indonesiasebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana denganpidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendapaling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).


40. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga Pasal 93berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93

(1) Setiap orang yang memiliki dan/ataumengoperasikan kapal penangkap ikan berbenderaIndonesia melakukan penangkapan ikan di wilayahpengelolaan perikanan Negara Republik Indonesiadan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPIsebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam) tahun dan denda paling banyakRp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang memiliki dan/ataumengoperasikan kapal penangkap ikan berbenderaasing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yangtidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalamPasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjarapaling lama 6 (enam) tahun dan denda palingbanyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliarrupiah).
(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapalpenangkap ikan berbendera Indonesia di wilayahpengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia,yang tidak membawa SIPI asli sebagaimanadimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dipidana denganpidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dandenda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (duamiliar rupiah).
(4) Setiap orang yang mengoperasikan kapalpenangkap ikan berbendera asing di ZEEI, yangtidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksuddalam Pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidanapenjara paling lama 6 (enam) tahun dan dendapaling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluhmiliar rupiah).


41. Di antara Pasal 94 dan Pasal 95 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 94A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94A

Setiap orang yang memalsukan dan/ataumenggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu sebagaimanadimaksud dalam Pasal 28A dipidana dengan pidanapenjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda palingbanyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).







42. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga Pasal 98 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 98

Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki suratpersetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalamPasal 42 ayat (3) dipidana dengan pidana penjarapaling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyakRp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


43. Di antara Pasal 100 dan Pasal 101 disisipkan 4(empat) pasal yakni Pasal 100A, Pasal 100B, Pasal 100C, dan Pasal 100D, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100A

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalamPasal 28A, pemalsuan persetujuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dan pemalsuanpendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36yang melibatkan pejabat, pidananya ditambah 1/3(satu pertiga) dari ancaman pidana pokok.

Pasal 100B

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalamPasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1),Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3),Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 35 ayat (1),Pasal 36 ayat (1), Pasal 38, Pasal 42 ayat (3), atau Pasal55 ayat (1) yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/ataupembudi daya-ikan kecil dipidana dengan pidanapenjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda palingbanyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh jutarupiah).

Pasal 100C

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (2) dilakukan oleh nelayan kecil dan/ataupembudi daya-ikan kecil dipidana dengan pidanadenda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus jutarupiah).

Pasal 100D

Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana denda,maka denda dimaksud wajib disetorkan ke kas negarasebagai penerimaan negara bukan pajak kementerianyang membidangi urusan perikanan.


44. Ketentuan Pasal 105 dihapus.


45. Ketentuan Pasal 110 diubah sehingga Pasal 110 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 110

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.   Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentangPerikanan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1985 Nomor 46, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 3299); dan
b.   Ketentuan mengenai penyidikan sebagaimanadiatur dalam Pasal 14 dan ketentuan mengenaipidana denda dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZonaEkonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44,Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 3260) khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


46. Di antara Pasal 110 dan Pasal 111 disisipkan 1(satu) pasal yakni Pasal 110A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 110A

Semua Peraturan Pemerintah yang diamanatkan untukmelaksanakan ketentuan Undang-Undang ini harusditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.














Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diskusi Pemuda Kristen

TATA IBADAH NATAL SMTPI SEKTOR CALVARI JEMAAT GPM PETRA

TUGAS METODE ILMIAH PROPOSAL PENELITIAN STUDI PEMBUATAN DODOL DARI RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DENGAN PENAMBAHAN KACANG HIJAU (Phaseolus eureus)